Senin, 25 Mei 2015

FALLACY OF DRAMATIC INSTANTCE

OLEH : BUNGA MUTIARA BATALIPU

Fallacy of dramatic instantce ( over generalisasi ) yaitu salah satu kesalahan berpikir yang paling banyak dipakai sebagian besar manusia. fallacy of instantce adalah konsep berpikir yang menggunakan pengalaman individu atau kelompok sebagai suatu tolak ukur kebenaran pada hal yang lebih umum atau universal.

sebagai contoh, pada sebuah kasus penelitian terhadap akibat penyiaran saluran TV internasional terhadap nasionalisme masyarakat. setelah penelitian dilakukan dengan adanya beberapa saluran internasional diTV nasional, ada seorang tokoh masyarakat atau aktivis yang memberikan pendapat bahwa dengan adanya penyiaran saluran-saluran tersebut tidak menggangu Rasa Nasionalismenya terhadap negara. Dengan mengambil pendapat dari individu tersebut sebagai penarikan kesimpulan dalam penelitian ini maka ini mengalami Fallacy of dramatic instantce.

ada juga contoh lain, dalam sebuah kasus ada pendapat yang menyatakan bahwa orang islam itu teroris, dengan alasan di timur tengah kebanyakan dari pelaku terorisme adalah umat islam. Di negara indonesia juga teroris kebanyakan dari orang orang islam. maka pengambilan keputusanya adalah orang islam.

atau dalam contoh yang lebih sederhana dapat dijabarkan seperti :
andi adalah murid SMA N 1 yang pintar
mitha adalah murid SMA N 1 yang pintar
semua murid SMA 1 adalah pintar

Jumat, 22 Mei 2015

FIGUR FIGUR PEREMPUAN YANG MENCAPAI MAQAM IRFANI

OLEH  :  BUNGA MUTIARA BATALIPU

Sebelum membahas figur figur yang mencapai maqam irfani, terlebih dahulu kita ketahui apa yang dimaksud dengan Irfan. secara sederhana Kata irfan berasal dari kata bahasa Arab yang berarti ma’rifat (pengetahuan). ma'rifat (pengetahuan) bisa disebut juga mengenal, yang dalam artian mengenal Allah. Dengan Mengenal-Nya maka keyakinan penuh kepadaNya merupakan hal yang utama.

Dalam islam ada beberapa pribadi perempuan terdahulu yang mencapai tingkatan spiritual irfani. mereka adalah perempuan-perempuan yang menjadikan Allah sebagai kekasih sejatinya. mereka adalah :
1. Rabi'ah al-Syamiyyah
Rabia'ah al-syamiyyah adalah istri Ahmad ibn Al-Hawari, bentuk keutamaan beliau dalam kehidupan sehari hari contohnya pada saat beliau menghidangkan makanan kepada suaminya, beliau mengatakan "Makanlah, sesungguhnya Makanan ini menjadi matang berkat Tasbih". maksud dari perkataan ini bukanlah makanan tersebut matang karena ia bertasbih tetapi dalam aktivitas melayani suaminya beliau selalu bertasbih mengingat Kekasih sejatinya. disini dapat dilihat bahwa dalam keadaan apapun dirinya selalu bermunajah dengan Allah SWT.

2. Rabiah Al-Adawiyyah
Beliau adalah perempuan yang mencapai tingkat irfani dengan ketakutanya dan bisa pingsan saat mengingat ancaman api Neraka. ketakutanya akan ancaman dari kekekalan neraka menyebabkan Rabi'ah Al-Adawiyyah tak henti-hentinya bermunajah kepada Allah. sampai-sampai jika ia sedang menyendiri bersama kekasihnya, dia tidak mengizinkan satu orang pun mengganggunya. Sungguh Penghambaanya kepada Allah adalah hal yang utama. Dengan penghambaan dan pemujaan kepada kekasihNya sehingga Rabi'ah menuliskan puisi-puisi yang menggambarkan desiran hatinya yang selalu bersama kekasihnya.

3. Rabi'ah Binti ismail
Rabiah Binti ismail pernah bermimpi, suatu ketika dia melihat bidadari-bidadari surga lalu lalang dibelakangnya, beliau bingung entah kenapa sampai bidadari bidadari tersebut tidak menampakan wajahnya. ternyata bidadari-bidadari tersebut tidak bisa menampakan wajahnya karena silau akan cahaya yang memancar dari dirinya berkat keimananya kepada Allah Swt.

masih banyak lagi perempuan-perempuan yang diriwayatkan mencapai tingkatan irfani. dari beberapa contoh perempuan diatas dapat kita ketahui bahwa Aktualitas manusia mencapai tingkat irfani atau dalam Al-qur'an adalah lebih tinggi dari malaikat dapat dicapai oleh semua Manusia termasuk perempuan.

Senin, 18 Mei 2015

SUMPAH PEMUDA

Peristiwa sejarah Soempah Pemoeda atau Sumpah Pemuda merupakan suatu pengakuan dari Pemuda-Pemudi Indonesia yang mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 hasil rumusan dari Kerapatan Pemoeda-Pemoedi atau Kongres Pemuda II Indonesia yang hingga kini setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda
          Kongres Pemuda II dilaksanakan tiga sesi di tiga tempat berbeda oleh organisasi Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) yang beranggotakan pelajar dari seluruh wilayah Indonesia. Kongres tersebut dihadiri oleh berbagai wakil organisasi kepemudaan yaitu Jong Java, Jong Batak, Jong, Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, dsb serta pengamat dari pemuda tiong hoa seperti Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay Siang dan Tjoi Djien Kwie. 
          Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.
          Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.
         Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.
         Pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.

Adapun panitia Kongres Pemuda terdiri dari :

Ketua : Soegondo Djojopoespito (PPPI)
Wakil Ketua : R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)
Sekretaris : Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond)
Bendahara : Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond)
Pembantu I : Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond)
Pembantu II : R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia)
Pembantu III : Senduk (Jong Celebes)
Pembantu IV : Johanes Leimena (yong Ambon)
Pembantu V : Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaoem Betawi)
 
Berikut ini Kalimat Teks Sumpah Pemuda Asli 28 Oktober 1928:

SOEMPAH PEMOEDA
Satoe: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Doea: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Tiga: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Djakarta, 28 Oktober 1928
MAKNA MASING MASING SUMPAH PEMUDA
  1. "Kami Putra putri Indonesia Mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia." Bermakna, kita sebagai kaum pemuda harus bangga menjadi Warga Negara Indonesia. Meskipun Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama Kita harus bersatu. Seperti makna dari "Bhineka Tunggal Ika", berbeda-beda tapi tetap satu.
  2. "Kami putra putri Indonesia mengaku berbangsa satu, Bangsa Indonesia." Berarti, sebagi seorang Pemuda Indonesia harus mengaku sebagai bangsa Indonesia bukan mengaku sebagai suku daerah masing-masing. Dari makna ini, akan memunculkan rasa persatuan dan kesatuan yang kokoh serta rasa toleran sesama bangsa Indonesia.
  3. "Kami putra putri Indonesia mengaku berbahasa satu, Bahasa Indonesia." Bahasa Indonesia merupakan Bahasa persatuan, dimana bahasa ini digunakan sebagai alat komunikasi yang resmi di wilayah Indonesia.
Itulah penghayatan dari butir-butir Sumpah Pemuda. Kita sebagai pemuda, dapat diharapkan dapat menerapkan makna dari tiap-tiap butir yang terkandung dalam rumusan Sumpah pemuda. Karena kita sebagai pemuda, merupakan harapan bangsa di masa yang akan datang sebagai penggerak kemajuan bangsa ini. Maka dari itu, para pemuda harus dapat menjawab tantangan yang terbentang di hadapan mereka tanpa mengeluh.

PERUMUSAN TEKS PROKLAMASI

  Perumusan Teks Proklamasi Hingga Pagi - Rombongan tiba kembali di Jakarta pada pukul 23.30 waktu Jawa. Seusai Sukarno dan Hatta singgah di rumah masing-masing rombongan kemudian menuju ke rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1, Jakarta (sekarang Perpustakaan Nasional). Faktor itu juga dikarenakan Laksamana Tadashi Maeda telah memberi tau terhadap Ahmad Subardjo (sebagai salah satu pekerja di kantor Laksamana Maeda) bahwa ia menjamin keselamatan mereka selagi berada di rumahnya. Sebelum mereka mengawali merumuskan naskah proklamasi, terlebih dahulu Sukarno dan Hatta menemui Somubuco (Kepala Pemerintahan Umum) Mayor Jenderal Nishimura, untuk menjajagi sikapnya mengenai Proklamasi Kemerdekaan. Mereka dikawani oleh Laksamana Maeda, Shigetada Nishijima dan Tomegoro Yoshizumi dan Miyoshi sebagai penterjemah. Pertemuan itu tak mencapai kata sepakat. Nishimura menegaskan bahwa garis kebijakan Panglima Tentara Keenambelas di Jawa adalah “dengan menyerahnya Jepang terhadap sekutu berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tak diperbolehkan lagi mengubah status quo (status politik Indonesia).

Sejak tengah hari sebelumnya tentara Jepang semata-mata telah adalah alat Sekutu dan diwajibkan tunduk terhadap sekutu”. Berdasarkan garis kebijakan itu Nishimura melarang Sukarno-Hatta untuk mengadakan rapat PPKI dalam rangka proklamasi kemerdekaan. Sampailah Sukarno-Hatta pada kesimpulan bahwa tak ada gunanya lagi menuturkan kemerdekaan Indonesia dengan pihak Jepang. Akhirnya mereka hanya menginginkan pihak Jepang tak menghalang-halangi pelaksanaan proklamasi yang bakal dilaksanakan oleh rakyat Indonesia sendiri. Maka mereka kembali ke rumah Laksamana Maeda. Sebagai baginda rumah Maeda mengundurkan diri ke lantai dua. Sedangkan di ruang makan, naskah proklamasi dirumuskan oleh tiga tokoh golongan tua, yaitu : Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta dan Mr. Ahmad Subardjo. Momen ini disaksikan oleh Miyoshi sebagai orang kepercayaan Nishimura, bersama dengan tiga orang tokoh pemuda lainnya, yaitu : Sukarni, Mbah Diro dan B.M. Diah. Sementara itu tokoh-tokoh lainnya, baik dari golongan muda maupun golongan tua menantikan di serambi muka.
Ir. Sukarno yang menuliskan konsep naskah proklamasi, sedangkan Drs. Moh. Hatta dan Mr Ahmad Subardjo menyumbangkan pikiran dengan cara lisan. Kalimat pertama dari naskah proklamasi adalah saran dari Mr. Ahmad Subardjo yang diambil dari rumusan BPUPKI. Sedangkan kalimat terbaru adalah sumbangan pikiran dari Drs. Moh. Hatta. Faktor itu dikarenakan menurut beliau butuh adanya tambahan pernyataan pengalihan kekuasaan (transfer of sovereignty). Jadi naskah proklamasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut :
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselengarakan dengan tjara akurat dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja
Djakarta, 17 – 8 –‘05
Wakil-2 bangsa Indonesia,
Pada pukul 04.30 waktu Jawa konsep naskah proklamasi berakhir disusun. Selanjutnya mereka menuju ke serambi muka menemui para hadirin yang menantikan. Ir. Sukarno mengawali membuka pertemuan dengan membacakan naskah proklamasi yang tetap adalah konsep tersebut. Ir. Sukarno meminta terhadap semua hadirin untuk menandatangani naskah proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia. Pendapat itu diperkuat oleh Moh. Hatta dengan mengambil contoh naskah “Declaration of Independence” dari Amerika Serikat. Usulan tersebut dimengenai oleh tokoh-tokoh pemuda. Sebab mereka berasumsi bahwa sebagian tokoh-tokoh tua yang hadir adalah “budak-budak” Jepang. Selanjutnya Sukarni, salah satu tokoh golongan muda, menganjurkan supaya yang menandatangani naskah proklamasi lumayan Sukarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia. Seusai usulan Sukarni itu disetujui, maka Ir. Sukarno meminta terhadap Sajuti Melik untuk mengetik naskah tulisan tangan Sukarno tersebut, dengan disertai perubahan-perubahan yang telah disepakati. Ada tiga perubahan yang tersedia pada naskah ketikan Sajuti Melik, yaitu : kata “tempoh” diganti “tempo”, sedangkan kata “wakil-wakil bangsa Indonesia” diganti dengan “Atas nama bangsa Indonesia”. Perubahan juga diperbuat dalam tutorial menuliskan tanggal, yaitu “Djakarta, 17-8-05” menjadi “Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ‘05”. Jadi naskah proklamasi ketikan Sajuti Melik itu, adalah sebagai berikut :
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselengarakan dengan tjara akurat dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ‘05
Atas nama bangsa Indonesia,
Soekarno/Hatta
(tandatangan Sukarno)
(tandatangan Hatta)

Selanjutnya muncul masalah dimanakah proklamasi bakal diselenggarakan. Sukarni menganjurkan bahwa Lapangan Ikada (sekarang tahap tenggara lapangan Monumen Nasional) telah dipersiapkan bagi berkumpulnya masyarakat Jakarta untuk mendengar pembacaan naskah Proklamasi. Tetapi Ir. Sukarno berpendapat lapangan Ikada adalah salah satu lapangan umum yang bisa memunculkan bentrokan antara rakyat dengan pihak militer Jepang. Oleh sebab itu Bung Karno menganjurkan supaya upacara proklamasi dilaksanakan di rumahnya, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 dan disetujui oleh para hadirin.[gs]

Jumat, 15 Mei 2015

PLURALISME KEBANGSAAN ALA GUSDUR

Berita

    Dialog Imajiner dengan Gus Dur (Bag. II)

    Gus Dur dan Pluralisme Kebangsaan

    Pada bagian ke-2 ini, penulis akan berimajinasi melakukan dialog dengan Gus Dur tentang persoalan pluralisme agama dan kehidupan keagamaan di Indonesia. Saya ingin tegaskan lagi, jawaban-jawaban Gus Dur dalam tulisan ini sepenuhnya imajiner berdasar pemahaman saya tentang Gus Dur.
    Gus Dur, saya ingin melanjutkan dialog beberapa hari lalu yang sempat terputus. Saya ingin awali dialog ini dengan minta pendapat Gus Dur mengenai gelar Bapak Pluralisme. Gus Dur tentu tahu, ketika memberi sambutan pemakaman, SBY dengan suara agak parau menyampaikan selamat jalan kepada Gus Dur sambil tak lupa memberi gelar sebagai Bapak Plualisme. Tanggapan Gus Dur?
    Ya terserah saja yang memberi gelar. Saya sih gak mikir hal-hal yang kayak gitu. Mau diberi gelar atau tidak, tak begitu banyak artinya bagi saya. Meski begitu, saya terima kasih atas gelar itu. Gelar itu sebenarnya penting bukan untuk saya, tapi justru orang-orang seperti sampeyan agar tidak pernah berhenti memperjuangkan agar hubungan agama-agama dan juga aliran-aliran yang ada di dalamnya bisa berjalan harmonis.
    Jadi sebenarnya Gus Dur tidak butuh gelar Bapak Pluralisme itu?
    Terus terang kalau saya pribadi tidak butuh. Tapi kalau hal itu dianggap bermanfaat untuk bangsa, saya bisa terima.
    Maksudnya?
    Kalau memang gelar itu bisa untuk menyemangati dan memberi keyakinan bahwa perjuangan atas pluralisme sebagai sesuatu yang benar, saya tidak keberatan. Dari sinilah saya berharap, orang-orang seperti sampeyan dan para aktivis pluralisme tidak pernah ragu apalagi berhenti menjaga dan merawat pluralisme. Teruslah teriak kalau ada orang-orang yang merusak pluralisme.
    Dengan gelar sebagai Bapak Pluralisme, apakah Gus Dur tidak terganggu dengan fatwa MUI yang menganggap pluralisme sebagai "kata kotor" yang diharamkan. Apakah itu tidak berarti Gus Dur dianggap sebagai biang kata kotor yang haram?
    Ah, saya tidak pernah menganggap MUI dalam soal itu. Dari dulu saya bilang, jangan terpengaruh dengan fatwa MUI. Semakin Anda tanggapi dan Anda diskusikan, MUI akan semakin senang. Itu artinya Anda telah menari dalam irama yang mereka tabuh. Kabarnya, beberapa tokoh MUI juga sudah mengakui kekeliruannya yang mendefinisikan pluralisme sebagai menyamakan semua agama. Siapa yang menyamakan semua agama? Abd Moqsith Ghazali bilang, kalau menyamakan agama itu bukan pluralisme, tapi singularisme. Itulah sebabnya, saya tidak pernah tawar menawar soal ini.
    Kabarnya teman-teman di MUI juga sudah mulai menyadari kalau selama ini MUI dibajak kelompok radikal. Apakah Gus Dur juga mendengar hal ini?
    Iya benar. Ada yang lapor ke saya begitu. Bahkan dulu sampeyan dan beberapa kawan di Wahid Institute pernah bilang kalau MUI telah dijadikan bunker kelompok Islam radikal. Baguslah kalau MUI menyadari hal itu. Saya harapkan MUI tidak hanya memikirkan masalah kepentingan Islam, tapi mau berpikir tentang bangsa.
    Kenapa sih, kalau soal pluralisme dan kebangsaan Gus Dur kayaknya all out. Gus Dur juga lebih banyak bicara soal bangsa, bangsa dan bangsa, dari pada soal Islam. Sampai-sampai ada orang yang bilang, Gus Dur itu lebih suka membela orang-orang non-Muslim daripada membela Muslim. Bahkan, Gus Dur juga sering berhadapan dengan tokoh-tokoh Muslim. Mengapa bisa begitu Gus?
    Nah, ini pertanyaan penting yang harus saya tanggapi. Begini mas, bangsa kita itu dibangun atas dasar kebhinekaan. Semboyan bhineka tunggal ika mencerminkan kesadaran itu. Karena itu, tegak atau hancurnya bangsa ini sangat ditentukan apakah kita mampu menjaga keseimbangan kebhinekaan atau tidak. Sebagai orang NU yang ikut berdarah-darah membangun bangsa ini, saya tidak bisa diam bila sendi-sendi kebangsaan terkoyak.
    Kalau begitu yang menjadi musuh kita sebenarnya siapa Gus?
    Dengan tegas saya katakan, sektarianisme! (mimik Gus Dur tampak begitu serius mengucapkan kata ini).  Yaitu cara pandang sempit yang hanya mementingkan kelompoknya sendiri. Sektarianisme ini yang akan merusak sendi-sendi kebangsaan kita. Yang Islam hanya berpikir dan mementingkan Islamnya, yang Kristen juga sama, yang Budha tidak berbeda. Kalau ini sampai terjadi, itu tandanya bangsa kita mengalami perapuhan.
    Apakah karena itu, dulu Gus Dur menentang pendirian Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI)?
    Betul. Saya menentang ICMI ketika itu, karena saya tahu ICMI akan dijadikan mesin politik dan birokrasi. Hampir tidak ada orang yang percaya dengan omongan saya. Bahkan, saya dianggap sebagai penghalang mobilitas politik umat Islam. Tapi apa yang saya omongkan ternyata benar kan? ICMI kemudian menjadi penggerak mesin politik sektrian yang mengganggu keseimbangan sosial. Dulu pernah saya katakan, konflik Ambon beberapa tahun lalu, sebagian disebabkan karena hilangnya keseimbangan sosial ini, akibat terjadinya islamisasi birokrasi. Para birokrat kalau mau mendapat jabatan harus bergabung dengan ICMI.
    Saya dulu juga tidak paham dengan sikap Gus Dur tentang ICMI ini. Ketika itu saya sedang kuliah semester 5 di IAIN Walisongo Semarang. Tapi belakangan saya baru mulai memahami apa yang Gus Dur maksudkan.
    Ya, syukurlah kalau sampeyan sudah paham.
    Tapi Gus, bukankah organisasi seperti NU juga sektarian?
    Kalau dilihat asal-usulnya memang begitu, karena NU berasal dari komunitas umat Islam pesantren. Tapi, sektarian atau tidak, tidak cukup hanya dilihat dari asal-usulnya. Hal yang harus dilihat, apa yang diperjuangkan NU? NU tidak penah berpikir untuk dirinya sendiri, tapi untuk bangsa. NU tidak pernah mementingkan ego umat Islam, tapi bagaimana supaya bangsa ini bisa tegak, saling percaya dan tidak ada pihak yang merasa dikhianati. Ini sangat penting.
    Ada orang yang bilang, umat Islam seharusnya mendapat fasilitas yang lebih di Negara ini. Karena umat Islam sudah berkorban Piagam Jakarta. Tanggapan Gus Dur?
    Gak usah dibilang umat Islam harus mendapat fasilitas lebih, kenyataannya dah begitu. Kurang apa sebenarnya Negara ini melayani umat Islam? Punya peradilan sendiri, punya UU haji, UU wakaf, UU perbankan Islam dan masih banyak lagi. Tapi masih saja dibilang kurang. Kalau perasaan kurang ini dituruti terus, yakinlah lama-lama bangsa kita akan semakin kerdil, karena yang besar mau memang sendiri. Umat Islam yang mayoritas ini harus bisa menjadi pengayom yang kecil, jangan justru menjadi monster yang menakutkan. Demikian juga pengorbanan yang sudah diberikan untuk bangsa, tidak usahlah diungkit-ungkit, apalagi pengorbanannya mau ditarik kembali. Itu namanya pengerdilan sejarah.
    Menurut Gus Dur, Islam itu mestinya diposisikan seperti apa dalam kehidupan bangsa?
    Dari dulu saya bilang, Islam itu sebagai inspirasi bukan aspirasi. Islam tidak perlu diformalkan karena hal itu justru akan mengerdilkan Islam. Kalau Islam sudah menjadi bagian dari diri kita, tanpa diberi embel-embel Islam pun orang juga tahu, apa yang kita lakukan merupakan spirit Islam. Banyak orang yang kemana-mana membawa bendera Islam, tapi perilakunya justru merusak Islam. Islam tidak akan hancur karena tidak menjadi dasar Negara, atau tidak dijadikan asas partai politik. Islam akan hancur jika umatnya hanya mengibar-ngibarkan bendera, teriak Allahu Akbar, tapi sebenarnya mereka sedang membesarkan diri sendiri, bukan membesarkan Allah. Ini sebenarnya sejenis kemusyrikan yang harus kita jauhi.
    Terima kasih Gus atas kesedian jenengan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Semoga Gus Dur tidak keberatan menyambung dialog ini di lain kesempatan.
    Ya mas, sama-sama. Saya senang dengan dialog ini. Salam saya untuk semua kawan-kawan di Wahid Institute dan aktivis pejuang pluralisme.
    (Rumadi)
    Melbourne, 25 November 2010.

SEJARAH PANCASILA

Pancasila

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
 



National emblem of Indonesia Garuda Pancasila.svg



Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.
Meskipun terjadi perubahan kandungan dan urutan lima sila Pancasila yang berlangsung dalam beberapa tahap selama masa perumusan Pancasila pada tahun 1945, tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.

Sejarah Perumusan

Perisai Pancasila menampilkan lima lambang Pancasila.
Dalam upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi, terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu:
  • Lima Dasar oleh Muhammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945. Yamin merumuskan lima dasar sebagai berikut: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia. Mohammad Hatta dalam memoarnya meragukan pidato Yamin tersebut.[1]
  • Panca Sila oleh Soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 Juni 1945 dalam pidato spontannya yang kemudian dikenal dengan judul "Lahirnya Pancasila". Sukarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan; Internasionalisme; Mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan; Kesejahteraan; Ketuhanan. Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni itu, katanya:
Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.
Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen penetapannya ialah:

Hari Kesaktian Pancasila

Pada tanggal 30 September 1965, terjadi insiden yang dinamakan Gerakan 30 September (G30S). Insiden ini sendiri masih menjadi perdebatan di tengah lingkungan akademisi mengenai siapa penggiatnya dan apa motif dibelakangnya. Akan tetapi otoritas militer dan kelompok reliji terbesar saat itu menyebarkan kabar bahwa insiden tersebut merupakan usaha PKI mengubah unsur Pancasila menjadi ideologi komunis, untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia dan membenarkan peristiwa Pembantaian di Indonesia 1965–1966.
Pada hari itu, enam Jendral dan 1 Kapten serta berberapa orang lainnya dibunuh oleh oknum-oknum yang digambarkan pemerintah sebagai upaya kudeta. Gejolak yang timbul akibat G30S sendiri pada akhirnya berhasil diredam oleh otoritas militer Indonesia. Pemerintah Orde Baru kemudian menetapkan 30 September sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September G30S dan tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Butir-butir pengamalan Pancasila 

Ketetapan MPR no. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa menjabarkan kelima asas dalam Pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila.

Ketuhanan Yang Maha Esa

  1. Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
  2. Hormat menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
  3. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
  4. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.

Kemanusiaan yang adil dan beradab

  1. Mengakui persamaan derajat persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
  2. Saling mencintai sesama manusia.
  3. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
  4. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
  5. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
  6. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
  7. Berani membela kebenaran dan keadilan.
  8. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.

Persatuan Indonesia

  1. Menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
  2. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
  3. Cinta Tanah Air dan Bangsa.
  4. Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia.
  5. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

  1. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
  2. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
  3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
  4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan.
  5. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil musyawarah.
  6. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
  7. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

  1. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong-royong.
  2. Bersikap adil.
  3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
  4. Menghormati hak-hak orang lain.
  5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
  6. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
  7. Tidak bersifat boros.
  8. Tidak bergaya hidup mewah.
  9. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
  10. Suka bekerja keras.
  11. Menghargai hasil karya orang lain.
  12. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Ketetapan ini kemudian dicabut dengan Tap MPR no. I/MPR/2003 dengan 45 butir Pancasila.

Sila pertama

Bintang.
  1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
  6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
  7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.

Sila kedua

Rantai.
  1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
  3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
  4. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
  5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
  6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
  7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
  8. Berani membela kebenaran dan keadilan.
  9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
  10. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.

Sila ketiga

Pohon Beringin.
  1. Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
  2. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
  3. Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
  4. Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
  5. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
  6. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
  7. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

Sila keempat

Kepala Banteng
  1. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
  2. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
  3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
  4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
  5. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
  6. Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
  7. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
  8. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
  9. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
  10. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.

Sila kelima

Padi Dan Kapas.
  1. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
  2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
  3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
  4. Menghormati hak orang lain.
  5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
  6. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
  7. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
  8. Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
  9. Suka bekerja keras.
  10. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
  11. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

Jumat, 08 Mei 2015

Pra peradilan bisa diperlakukan pada penetapan status tersangka

JAKARTA, KOMPAS.com - Putusan Mahkamah Konstitusi yang menentukan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dikhawatirkan akan menambah beban hakim di tingkat pengadilan negeri. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah didesak untuk mempercepat pembahasan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Kalau dalam bahasa saya, praperadilan jadi pengadilan keempat. Praperadilan yang bisa memeriksa pokok perkara dan menguji alat bukti, membuat proses peradilan pidana jadi lebih panjang," ujar Ketua Pusat Bantuan Hukum Perhimpunan Advokat Indonesia, Rivai Kusumanegara, dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Jumat (8/5/2015).

Menurut Rivai, KUHAP yang masih digunakan saat ini sudah tidak lagi relevan dengan kebutuhan sistem acara pidana di persidangan. Menurut dia, putusan MK dalam satu sisi dapat disebut sebagai suatu terobosan hukum.

Namun, karena putusan tersebut hanya parsial, dikhawatirkan malah mengganggu sistem yang sudah dibangun. Dengan putusan tersebut, siapa saja yang ditetapkan sebagai tersangka, dapat menguji penetapannya melalui pengadilan.

Selain membebani pengadilan, banyaknya gugatan praperadilan juga dinilai akan mengganggu konsentrasi penyidik dalam menuntaskan kasus-kasus pidana. Selain itu, menurut Rivai, praperadilan saat ini belum menyentuh upaya paksa, seperti pencekalan. Akibatnya, praperadilan seringkali merugikan si pencari keadilan.

"Kalau saya pribadi, saya percaya pada perbaikan sistem. Hukum acara pidana jelas harus dibenahi. Dengan sistem yang baik, proses peradilan juga akan berjalan baik," kata Rivai.