Jumat, 15 Mei 2015

PLURALISME KEBANGSAAN ALA GUSDUR

Berita

    Dialog Imajiner dengan Gus Dur (Bag. II)

    Gus Dur dan Pluralisme Kebangsaan

    Pada bagian ke-2 ini, penulis akan berimajinasi melakukan dialog dengan Gus Dur tentang persoalan pluralisme agama dan kehidupan keagamaan di Indonesia. Saya ingin tegaskan lagi, jawaban-jawaban Gus Dur dalam tulisan ini sepenuhnya imajiner berdasar pemahaman saya tentang Gus Dur.
    Gus Dur, saya ingin melanjutkan dialog beberapa hari lalu yang sempat terputus. Saya ingin awali dialog ini dengan minta pendapat Gus Dur mengenai gelar Bapak Pluralisme. Gus Dur tentu tahu, ketika memberi sambutan pemakaman, SBY dengan suara agak parau menyampaikan selamat jalan kepada Gus Dur sambil tak lupa memberi gelar sebagai Bapak Plualisme. Tanggapan Gus Dur?
    Ya terserah saja yang memberi gelar. Saya sih gak mikir hal-hal yang kayak gitu. Mau diberi gelar atau tidak, tak begitu banyak artinya bagi saya. Meski begitu, saya terima kasih atas gelar itu. Gelar itu sebenarnya penting bukan untuk saya, tapi justru orang-orang seperti sampeyan agar tidak pernah berhenti memperjuangkan agar hubungan agama-agama dan juga aliran-aliran yang ada di dalamnya bisa berjalan harmonis.
    Jadi sebenarnya Gus Dur tidak butuh gelar Bapak Pluralisme itu?
    Terus terang kalau saya pribadi tidak butuh. Tapi kalau hal itu dianggap bermanfaat untuk bangsa, saya bisa terima.
    Maksudnya?
    Kalau memang gelar itu bisa untuk menyemangati dan memberi keyakinan bahwa perjuangan atas pluralisme sebagai sesuatu yang benar, saya tidak keberatan. Dari sinilah saya berharap, orang-orang seperti sampeyan dan para aktivis pluralisme tidak pernah ragu apalagi berhenti menjaga dan merawat pluralisme. Teruslah teriak kalau ada orang-orang yang merusak pluralisme.
    Dengan gelar sebagai Bapak Pluralisme, apakah Gus Dur tidak terganggu dengan fatwa MUI yang menganggap pluralisme sebagai "kata kotor" yang diharamkan. Apakah itu tidak berarti Gus Dur dianggap sebagai biang kata kotor yang haram?
    Ah, saya tidak pernah menganggap MUI dalam soal itu. Dari dulu saya bilang, jangan terpengaruh dengan fatwa MUI. Semakin Anda tanggapi dan Anda diskusikan, MUI akan semakin senang. Itu artinya Anda telah menari dalam irama yang mereka tabuh. Kabarnya, beberapa tokoh MUI juga sudah mengakui kekeliruannya yang mendefinisikan pluralisme sebagai menyamakan semua agama. Siapa yang menyamakan semua agama? Abd Moqsith Ghazali bilang, kalau menyamakan agama itu bukan pluralisme, tapi singularisme. Itulah sebabnya, saya tidak pernah tawar menawar soal ini.
    Kabarnya teman-teman di MUI juga sudah mulai menyadari kalau selama ini MUI dibajak kelompok radikal. Apakah Gus Dur juga mendengar hal ini?
    Iya benar. Ada yang lapor ke saya begitu. Bahkan dulu sampeyan dan beberapa kawan di Wahid Institute pernah bilang kalau MUI telah dijadikan bunker kelompok Islam radikal. Baguslah kalau MUI menyadari hal itu. Saya harapkan MUI tidak hanya memikirkan masalah kepentingan Islam, tapi mau berpikir tentang bangsa.
    Kenapa sih, kalau soal pluralisme dan kebangsaan Gus Dur kayaknya all out. Gus Dur juga lebih banyak bicara soal bangsa, bangsa dan bangsa, dari pada soal Islam. Sampai-sampai ada orang yang bilang, Gus Dur itu lebih suka membela orang-orang non-Muslim daripada membela Muslim. Bahkan, Gus Dur juga sering berhadapan dengan tokoh-tokoh Muslim. Mengapa bisa begitu Gus?
    Nah, ini pertanyaan penting yang harus saya tanggapi. Begini mas, bangsa kita itu dibangun atas dasar kebhinekaan. Semboyan bhineka tunggal ika mencerminkan kesadaran itu. Karena itu, tegak atau hancurnya bangsa ini sangat ditentukan apakah kita mampu menjaga keseimbangan kebhinekaan atau tidak. Sebagai orang NU yang ikut berdarah-darah membangun bangsa ini, saya tidak bisa diam bila sendi-sendi kebangsaan terkoyak.
    Kalau begitu yang menjadi musuh kita sebenarnya siapa Gus?
    Dengan tegas saya katakan, sektarianisme! (mimik Gus Dur tampak begitu serius mengucapkan kata ini).  Yaitu cara pandang sempit yang hanya mementingkan kelompoknya sendiri. Sektarianisme ini yang akan merusak sendi-sendi kebangsaan kita. Yang Islam hanya berpikir dan mementingkan Islamnya, yang Kristen juga sama, yang Budha tidak berbeda. Kalau ini sampai terjadi, itu tandanya bangsa kita mengalami perapuhan.
    Apakah karena itu, dulu Gus Dur menentang pendirian Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI)?
    Betul. Saya menentang ICMI ketika itu, karena saya tahu ICMI akan dijadikan mesin politik dan birokrasi. Hampir tidak ada orang yang percaya dengan omongan saya. Bahkan, saya dianggap sebagai penghalang mobilitas politik umat Islam. Tapi apa yang saya omongkan ternyata benar kan? ICMI kemudian menjadi penggerak mesin politik sektrian yang mengganggu keseimbangan sosial. Dulu pernah saya katakan, konflik Ambon beberapa tahun lalu, sebagian disebabkan karena hilangnya keseimbangan sosial ini, akibat terjadinya islamisasi birokrasi. Para birokrat kalau mau mendapat jabatan harus bergabung dengan ICMI.
    Saya dulu juga tidak paham dengan sikap Gus Dur tentang ICMI ini. Ketika itu saya sedang kuliah semester 5 di IAIN Walisongo Semarang. Tapi belakangan saya baru mulai memahami apa yang Gus Dur maksudkan.
    Ya, syukurlah kalau sampeyan sudah paham.
    Tapi Gus, bukankah organisasi seperti NU juga sektarian?
    Kalau dilihat asal-usulnya memang begitu, karena NU berasal dari komunitas umat Islam pesantren. Tapi, sektarian atau tidak, tidak cukup hanya dilihat dari asal-usulnya. Hal yang harus dilihat, apa yang diperjuangkan NU? NU tidak penah berpikir untuk dirinya sendiri, tapi untuk bangsa. NU tidak pernah mementingkan ego umat Islam, tapi bagaimana supaya bangsa ini bisa tegak, saling percaya dan tidak ada pihak yang merasa dikhianati. Ini sangat penting.
    Ada orang yang bilang, umat Islam seharusnya mendapat fasilitas yang lebih di Negara ini. Karena umat Islam sudah berkorban Piagam Jakarta. Tanggapan Gus Dur?
    Gak usah dibilang umat Islam harus mendapat fasilitas lebih, kenyataannya dah begitu. Kurang apa sebenarnya Negara ini melayani umat Islam? Punya peradilan sendiri, punya UU haji, UU wakaf, UU perbankan Islam dan masih banyak lagi. Tapi masih saja dibilang kurang. Kalau perasaan kurang ini dituruti terus, yakinlah lama-lama bangsa kita akan semakin kerdil, karena yang besar mau memang sendiri. Umat Islam yang mayoritas ini harus bisa menjadi pengayom yang kecil, jangan justru menjadi monster yang menakutkan. Demikian juga pengorbanan yang sudah diberikan untuk bangsa, tidak usahlah diungkit-ungkit, apalagi pengorbanannya mau ditarik kembali. Itu namanya pengerdilan sejarah.
    Menurut Gus Dur, Islam itu mestinya diposisikan seperti apa dalam kehidupan bangsa?
    Dari dulu saya bilang, Islam itu sebagai inspirasi bukan aspirasi. Islam tidak perlu diformalkan karena hal itu justru akan mengerdilkan Islam. Kalau Islam sudah menjadi bagian dari diri kita, tanpa diberi embel-embel Islam pun orang juga tahu, apa yang kita lakukan merupakan spirit Islam. Banyak orang yang kemana-mana membawa bendera Islam, tapi perilakunya justru merusak Islam. Islam tidak akan hancur karena tidak menjadi dasar Negara, atau tidak dijadikan asas partai politik. Islam akan hancur jika umatnya hanya mengibar-ngibarkan bendera, teriak Allahu Akbar, tapi sebenarnya mereka sedang membesarkan diri sendiri, bukan membesarkan Allah. Ini sebenarnya sejenis kemusyrikan yang harus kita jauhi.
    Terima kasih Gus atas kesedian jenengan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Semoga Gus Dur tidak keberatan menyambung dialog ini di lain kesempatan.
    Ya mas, sama-sama. Saya senang dengan dialog ini. Salam saya untuk semua kawan-kawan di Wahid Institute dan aktivis pejuang pluralisme.
    (Rumadi)
    Melbourne, 25 November 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar